sabda Rasulullah SAW:

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah Taala tidak memandang gambaran rupa kamu dan tidak kepada bangsa kamu dan tidak kepada harta benda kamu tapi Dia memandang hati kamu dan amalan-amalan kamu.” (Riwayat At Tabrani)


Monday, August 8, 2011

Tasawufkan Ramadhanmu

sinambungan dari blog : http://pondokhabib.wordpress.com/2011/08/08/tasawufkan-ramadhanmu/

Tasawufkan Ramadhanmu Jul30

Sepertinya memang sudah fitrah kian, manusia akan melebihkan amalnya ketika ahwal ruhaninya meningkat. Meningkatnya ahwal ruhani ini disebabkan oleh banyak hal, bisa jadi karena berada di tempat-tempat atau waktu-waktu yang fadhilah (utama) seperti ketika berada di depan makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau makam para auliya’, ketika berada dalam malam lailatul qadar, atau bisa jadi karena lagi tertimpa musibah, bisa jadi karena baru saja mendapat nikmat dan juga bisa jadi ketika lagi mengharap. Masih banyak sebab-sebab lain yang dapat meningkatkan ahwal ruhani seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Amal ibadah orang tidaklah sama, baik jika dibandingkan pada dirinya sendiri di tiap-tiap waktu & tempat atau jika dibandingkan dengan orang kain. Inilah yang menyebabkan diciptakannya surga yang bertingkat-tingkat, sekali lagi karena memang amal orang tidaklah sama. Sebagaimana juga Allah menciptakan neraka bertingkat-tingkat karena memang kejahatan orang tidaklah sama. Jadi orang yang menolak atau melarang orang lain untuk melebihkan amal-amal ibadahnya adalah orang yang melawan fitrah dan terkeluar daripada kodrat.

Makanya Rasulullah tidak pernah melarang para sahabat untuk melebihkan amal ibadah, bahkan menganjurkan.

Di dalam sebuah hadits tentang berwudhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ فَلْيُطِلْ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيلَهُ

“…maka siapa yang sanggup di antara kamu, hendaklah dia melebihkan (basuhan) pada wajah serta tangan & kakinya.” (H.R. Muslim)

Dari hadits di atas, para fuqaha’ mensunnahkan mubalaghoh (berlebihan) dalam berwudhu.[1] dengan melebihkan ukuran basuhan[2] pada anggota-anggota wudhu’ hingga melebih batas-batas yang diwajibkan. Setelah mendengar hadits itu, para sahabat banyak yang suka melebihkan ukuran basuhannya ketika membasuh muka hingga sampai ke leher, pada tangan hingga sampai ketiak, dan pada kaki hingga ke paha. Sebab Nabi mengatakan nanti di akhirat umat Nabi Muhammad akan bercahaya bekas air wudhunya, jadi semakin bertambah luas daerah wudhu’nya akan semakin besarlah cahaya pada anggota wudhu’nya.

Dari hadits di atas pula, dapat kita simpulkan berlebihan dalam suatu ibadah adalah boleh, selama tidak bertentangan atau menyalahi rukun & syarat yang sudah ditetapkan syariat, seperti memperbanyak jumlah harta yang dizakatkan melewati nishob, memperbanyak jumlah dzikir dan shalawat, memperbanyak sholat dan baca alquran, memperpanjang bacaan sholat 3 atau 4 juz dalam satu raka’at (itu kalau dilakukan sendirian, kalau berjamaah jangan panjang-panjang, sunnahnya baca yang pendek-pendek saja, kasihan anak-anak dan orang tua).

Apatah lagi di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, sangat sangat dianjurkan untuk berlebihan dalam ibadah. Alangkah ruginya kita jika di bulan yang luar biasa, amal ibadah kita biasa-biasa saja. Tidak hanya berlebihan dalam artian secara zhohir ( jumlah, waktu, rukun dan syarat) tetapi juga dalam artian secara bathin (makna & hakekat).

Saudara-saudaraku yang budiman. Berikut yang harus diperhatikan selama bulan Ramadhan. Uraian di bawah ini saya sarikan dari wejangan-wejangan Al-Imam Hujjatul Islam Ash-Shufi Imam Ghazali Ath-Thusi radhiyallahu ‘anhu dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin:

1. Pertama: Semua amal ibadah itu disaksikan oleh makhluk, kita sholat dilihat makhluk, kita sedekah dilihat makhluk, kita baca alquran dilihat makhluk, adapun ibadah puasa ini tidak ada yang melihat kecuali Allah, karena puasa sebenarnya adalah ibadah batin yang hakekatnya adalah semata-mata sabar.[3] Intinya pengendalian diri kata Kiyai Haji Zainuddin MZ Allahuyarham.

2. Kedua: Ada sebuah pelajaran penting yang harus kita ambil dalam puasa Ramadhan ini; yaitu lapar. Saya sempat curiga mengapa ilmu Tasawuf begitu intensif “mengkader” (red: tarbiyah) para muridnya dengan lapar ini. Ternyata di dalam lapar memang terkandung sebuah hikmah yang luar biasa. Lapar dapat melumpuhkan syaitan. Bukan syaitan sebenarnya yang dilumpuhkan, tetapi hawa nafsu. Hanya saja nafsu ini yang menjadi kendaraan syaitan. Jika nafsu lumpuh, syaitanpun lumpuh. Coba deh puasa sehari, dua hari, tiga hari atau lima hari gak buka-buka, dijamin anda lemas dan gak bisa ngapa-ngapain. Marah tak selera, maksiat tak selera, mau ngomongpun tak selera. Nah itulah hikmahnya puasa lima hari tak buka-buka, melumpuhkan segala nafsu, apapun jenisnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الشيطان لييجري من ابن آدم مجر الدم فضيقوا مجاريه بالجوع

“Sesungguhnya syaitan itu benar-benar mengalir dalam tubuh bani adam di tempat peredaran darahnya, maka persempitlah ruang geraknya dengan lapar.” (Muttafaq ‘alaih)

Herannya puasa ini memberikan kekuatan yang luar biasa pada hal-hal kebaikan. Masih ingat bukan, bagaimana tentara Rasulullah memerangi kafir Quraisy di perang Badar dalam keadaan berpuasa, bagaimana tentara kaum muslimin melawan kuatnya tentara Byzantium Roma dan Kisra Parsi, juga dalam keadaan berpuasa, dan bahkan Kemerdekaan Indonesia juga diproklamasikan ketika rakyat Indonesia sedang kelaparan berpuasa?! Dan sebaliknya kejayaan Umawiyah dan Abbasyiah runtuh ketika ketika perut-perut para penguasanya selalu kenyang dan terpuruknya Indonesia juga karena perut-perut para pejabat Indonesia yang selalu kenyang. Aneh bukan?! Seharusnya semakin lapar semakin tak bertenaga & semakin kenyang semakin bertenaga. Inilah yang disebut dengan kekuatan ruhani. Kekuatan yang terlepas dari hubungan fisik namun bersumber dari hubungan ruhani antara hamba kepada Allah.

بَلَى إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ آلافٍ مِنَ الْمَلائِكَةِ مُسَوِّمِينَ

“Ya, jika kamu bersabar & bertakwa dan tentara-tentara kafir itu menyerang kamu sekarang juga, Allah yang akan menggenggam kamu dengan lima ribu tentara malaikat yang memakai tanda.” (Ali-Imran: 125):

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Jika kamu menolong Allah, Allah menolong kamu dan mengkokohkan kaki-kakimu” (QS. Muhammad: 7)

Untuk berperang saja, puasa ini begitu memberikan kekuatan kepada orang-orang yang berperang, apalagi untuk sholat, mengaji dan pengajian. Makanya di bulan Ramadhan kita begitu kuat dan bersemangat beribadah.

3. Ketiga: puasa yang sah secara fikih itu belum tentu diterima Allah (qobul), karena ibadah yang sah secara fikih, itu artinya adalah ibadah yang terpenuhinya semua rukun dan syarat[4]. Adapun ibadah yang qobul adalah ibadah yang hanya diterima Allah tanpa kerusakan dan cacat. Bisa jadi kecacatannya karena tidak ikhlas dan bisa jadi karena dusta, ghibah dan fitnah..

خمس يفطرن الصائم الكذب و الغيبة و النميمة و اليمين الكاذبة و النظر بشهوة (أخرجه الأزدي في الضعفاء)

“Lima yang membatalkan[5] puasa: ghibah, dusta, fitnah, sumpah palsu, melihat dengan syahwat.” (Hadits Riwayat Asadi dalam Dhu’afa’)

كم من صائم ليس له من صومه إلا الجوع و العطش

“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga” (H.R Nasa’i dan Ibnu Majah).

Tidak adanya mendapatkan apa-apa adalah pertanda bahwa ibadah tidak diterima. Jika Allah menerima tentu Allah akan membalas sebagaimana janji-janji-Nya.

Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari hadits Ibnu Umar[6] bahwasanya di masa Rasulullah ada dua orang wanita lagi berpuasa kemudian keduanya merasakan lapar dan haus yang sangat dahsyat hingga hampir mati, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah minta izin untuk berbuka, kemudian Rasulullah memberikan keduanya mangkuk dan menyuruh untuk memuntahkan sesuatu ke dalam mangkuk tersebut. Maka keduanya muntah dengan muntah yang sangat banyak hingga memenuhi mangkuk, separuhnya adalah darah segar dan separuhnya adalah daging segar. Semua orang terkejut dan Rasulullah bersabda: “Dua orang ini berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah dan berbuka dari apa yang diharamkan Allah. Dua-duanya duduk-duduk dan meng-ghibah orang lain, dan yang mereka makan ini adalah daging orang-orang yang mereka ghibahi.” (Riwayat Thabrani)

4. Mendengarkan orang yang lagi berghibah, itu hukumnya sama saja dengan orang yang lagi berghibah, karena kaedah mengatakan: semua yang haram dikatakan itu haram didengarkan[7]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

المغتاب و المستمع شريكان في الإثم

“Orang ghibah dengan yang mendengarkan dosanya sama” (HR. Thabrani)

Mengapa dosanya sama, karena keduanya sama-sama menikmati nikmatnya keburukan orang lain. Walaupun tidak ikut berbicara, tetapi si pendengar ikut “mengiyakan”.

5. Ketika berbuka, maka makanlah sedikit saja sebagai pembuka. Disunnahkan berbuka dengan yang manis-manis, terutama kurma. Artinya boleh berbuka dengan yang selain kurma walaupun tidak ada di masa Rasulullah, seperti kolak pisang misalkan. Dimakruhkan berbuka dengan porsi yang terlalu banyak dan berjenis-jenis. Ya… makanan yang halal memang baik untuk tubuh, tetapi yang merusaknya bukan karena jenis halalnya, tetapi karena banyaknya[8] Makanya rumah-rumah sakit di Indonesia selalu kebanjiran orang opname selepas Ramadhan, biasanya karena sakit gula, kolestrol dan penyakit-penyakit karena terlalu banyak makan lainnya.

Imam Ghazali mengatakan: “Tidak ada ruang yang lebih dibenci Allah daripada perut yang begitu dipenuhi dengan makanan yang halal. Bagaimana dia mau menguasai musuh-musuh Allah (syaitan) dan mematahkan syahwatnya jika pada waktu berbuka dia melahap semua makanan yang dipuasakannya seharian, bahkan melebihi jumlah dan jenis dari makanannya yang sehari itu, bahkan di bulan Ramadhan dia menyimpan dan memakan semua jenis makanan yang selama ini tidak pernah dimakannya di bulan-bulan biasa di luar Ramadhan. Jika sudah demikian, maka nafsu justru akan semakin berlipat ganda sebab ketika perut terpaksa menahan makanannya di siang hari dan nafsu makanpun berkobar-kobar di sore hari, kemudian diempanin sampai kuenyang di waktu berbuka, maka sang nafsupun begitu menikmati permainan yang lezat ini, berlipat gandalah tenaganya dan ia akan beranak melahirkan syahwat-syahwat baru yang padahal selama ini tak pernah ada pada diri orang tersebut.”[9]

Dari wejangan Imam Ghazali ini, hemat penulis, mungkin ini yang menyebabkan semakin banyak Ramadhan-ramadhan yang telah saya lewati, semakin banyak saya lihat nafsu-nafsu syahwat model baru yang terus bermunculan. Miris memang, Ramadhankah yang gagal membentuk pribadi-pribadi bertakwa atau diri kitakah yang gagal?!

6. Imam Ghazali juga menasehati agar jangan memperbanyak tidur di siang Ramadhan. Kalau banyak tidur buat apa puasa?! Sebab tujuan puasa adalah merasakan dahsyatnya lapar dan dahaga yang akan melahirkan kekuatan-kekuatan ruhani yang tumbuh dalam qolbu yang merupakan buah daripada sabarnya kepada Allah. Dengan kekuatan inilah nanti dia akan mampu melaksanakan tahajjud malam di bulan Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya. Jika sedari awal kita selalu meninggalkan tahajjud malam maka kemungkinan besar sampai akhir Ramadhan kita akan terbiasa meninggalkan tahajjud malam. Imam Ghazali bilang: “Mungkin saja syaitan lagi tidak mengitari hati seseorang di malam-malam Ramadhan hingga dia mampu melihat malakut sama’ (alam malaikat). Alangkah sayangnya jika malam ini dilewatkan akibat tidur siang kita yang terlalu. Dan lailatul Qadar itu sendiri sebenarnya adalah sebuah ungkapan untuk suatu malam dimana seseorang tersingkap malakut Allah, inilah yang dimaksud dengan firman Allah:

إنا أنزلناه في ليلة القدر(القدر: 1)

“Sesungguhnya kami menurunkan alquran pada malam lailatul qadr”

7. Yang terakhir, setelah berbuka puasa, hendaklah hati kita berada di antara khouf dan roja’. Khouf adalah takut puasa kita tidak diterima dan roja’ adalah begitu mengharap Allah menerima puasa kita. Karena tidak ada satupun kita yang tahu apakah diterima puasa kita hingga kita tergolong orang-orang yang muqarrabin (didekati Allah) atau malah ditolak hingga kita tergolong orang-orang yang mamqutin (dijauhi Allah).

Mungkin ini sedikit oleh-oleh dari al-faqir buat Saudara-saudaraku. Wejangan-wejangan Imam Ghazali di atas dirasa sangat perlu saya sarikan agar Ramadhan tahun ini tidak lagi terulang bahwa kita mengabaikan Ramadhan begitu saja tanpa melebihkan amal ibadah dan dengan pemahaman dan penghayatan yang lebih pula.

Al-faqir memohon do’a dari Saudara-saudaraku moga risalah yang sederhana ini Allah mengampuni segala dosa al-faqir dan dapat menambah timbangan kebaikan di hari kiamat kelak. Mohon maaf lahir & batin atas segala kesalahan.

Akhirul Kalam, selamat menunaikan ibadadah puasa Ramadhan 1432 Hijriyah. Moga Allah memberikan pertolongan dan kekuatan pada kita untuk mengisi Ramadhan dengan berbagai amal ibadah. Amîn. Billahi taufiq. Wassalamu’alaikum

Sumber: Ihya’ Ulumuddin Imam Ghazali rahimahullah

Al-faqir ila maghfirati Robbih
Muhammad Haris F. Lubis
Kairo, 25 Juli 2011/24 Sya’ban 1432 H

——————————————————————————–

[1] Fathul Mun’im Syarah Shohih Muslim Hal. 93 Dr. Musa Syahin Lasyin Muqorror Fak. Syari’ah Tkt. 2 Univ. Al Azhar Kairo
[2] Basuh yang saya maksudkan di sini adalah al-ghaslu bukan al-mashu karena syarat rukun pada wajah, tangan dan kaki adalah dengan menyiramkan air (al-ghaslu) bukan dengan menyapukan air (al-mashu) yang hanya digunakan untuk kepala. Tetapi berhubung penggunaan kata basuh dalam bahasa Indonesia biasanya mencakup menyiram dan membasuh maka saya gunakan kata basuh.
[3] Ihya’ Ulumuddin hal.352 jil. 1 Cet. Taufiqiyah Kairo
[4] Tidak makan & minum, tidak berjima’, tidak mengeluarkan mani secara sengaja dan seterusnya, jika hal ini dilakukan maka puasanya batal alias tidak sah..
[5] Uslub mubalaghoh, begitu kerasnya larangan untuk melakukan lima hal di atas sampai-sampai dikatakan membatalkan puasa, jangan diartikan secara zhohir, maksudnya adalah hanya menghilangkan pahala puasa, sebab para fuqaha’ telah ijma’ bahwa kelima hal di atas tidak membatalkan puasa.
[6] Al-Mughni ‘An Hamlil Asfar dalam catatan kaki Ihya’ hal 357, al-Hafizh al-Iraqi
[7] Imam Ghazali Ihya’ Ulumuddin hal. 357
[8] Ibid
[9] Ibid 358

No comments:

Post a Comment